Taiwan Tidak Akan Mundur Hadapi Agresi China

Taiwan tidak akan mundur dalam menghadapi “ancaman agresi” dari China, kata presiden pulau demokrasi berpemerintahan sendiri itu, Tsai Ing-wen, Selasa (25/10). Ia membandingkan tekanan yang meningkat dari Beijing dengan invasi Rusia ke Ukraina.

Komentar Tsai ini disampaikan menyusul dikeluarkannya hasil kongres Partai Komunis China yang hanya berlangsung dua kali dalam 10 tahun, yang pada intinya meningkatkan ancaman lama untuk mencaplok pulau yang dianggap bagian dari wilayahnya itu dengan paksa jika perlu.

Partai itu menambahkan pernyataan ke dalam konstitusinya yang menyebutkan “dengan tegas menentang dan menghalangi” kemerdekaan Taiwan, dan “dengan tegas menerapkan kebijakan satu negara, dua sistem”, rumusan yang akan digunakannya untuk memerintah pulau itu di masa depan.

Cetak birunya telah diterapkan di wilayah bekas jajahan Inggris, Hong Kong, yang kemudian mendapati sistem demokrasi, kebebasan sipil, dan independensi peradilannya hancur.

Berbicara pada pertemuan internasional aktivis prodemokrasi di Taipei, Tsai mengatakan demokrasi dan masyarakat liberal menghadapi tantangan terbesar sejak Perang Dingin.

“Invasi tanpa alasan Rusia ke Ukraina adalah contoh utama. Ini menunjukkan rezim otoriter akan melakukan apa pun untuk memperluas wilayah kekuasaannya,” kata Tsai.

“Rakyat Taiwan sudah sangat terbiasa dengan agresi semacam itu. Dalam beberapa tahun terakhir, Taiwan telah dihadapkan dengan ancaman yang semakin agresif dari China,” katanya dengan menyebutkan beberapa contoh, seperti intimidasi militer, serangan dunia maya dan ancaman ekonomi.

Meningkatnya ancaman dari China telah mendorong Taiwan untuk meningkatkan investasi pertahanan dan perpanjangan masa dinas militer yang diwajibkan bagi semua orang Taiwan.

“Meski berada di bawah ancaman terus-menerus, rakyat Taiwan tidak pernah menghindar dari tantangan” dan akan terus berjuang melawan kekuatan otoriter yang ingin merusak cara hidup demokratis mereka, kata Tsai.

Tsai berbicara pada upacara pembukaan Komite Pengarah Gerakan Dunia untuk Demokrasi, yang diketuai oleh peraih Hadiah Nobel Perdamaian 2021 Maria Ressa.

Taiwan dan China terpecah di tengah perang saudara pada tahun 1949 dan Taipei menikmati dukungan militer dan politik AS yang kuat, meskipun tidak ada hubungan militer resmi.

Meskipun hanya memiliki 14 sekutu diplomatik resmi, Taiwan telah menarik dukungan yang meningkat dari negara-negara besar, termasuk Jepang, Australia, AS, Kanada, dan bahkan Eropa.

Kunjungan baru-baru ini oleh Ketua DPR AS Nancy Pelosi membuat marah Beijing, yang menanggapi dengan latihan militer yang banyak dianggap sebagai latihan blokade terhadap pulau itu.

Pada hari Senin, Tsai bertemu dengan delegasi parlemen Jerman yang berfokus pada HAM, yang menyatakan keprihatinan mereka tentang bagaimana Taiwan akan menangani ancaman dari China. [ab/uh]

Sumber: www.voaindonesia.com