Indeks

Pencalonan Anies Baswedan: NasDem Untung atau Buntung?

Keputusan Partai NasDem untuk mencalonkan Anies Baswedan dipastikan membawa dampak secara politik. Ada potensi kenaikan suara, tetapi ada juga kemungkinan perginya sejumlah kecil kader dan pemilih.

Sejak nama Anies Baswedan mengerucut sebagai salah satu calon presiden, organisasi relawan mulai berdiri di berbagai wilayah. Salah satunya, adalah Sekretariat Kolaborasi Indonesia (SKI) Yogyakarta. Kardi SH, koordinator organisasi relawan ini mengklaim memiliki ribuan anggota.

Kardi SH, koordinator Sekretariat Kolaborasi Indonesia (SKI), kelompok relawan Anies Baswedan di Yogyakarta. (Foto: Dok Pribadi)

Pedoman SKI adalah, apapun partainya, presidennya harus Anies Baswedan. Dalam memilih partai pada pemilu legislatif, dipastikan suara relawan hanya akan tertuju pada partai-partai pendukung Anies Baswedan, kata Kardi kepada VOA.

“Kalau itu saya yakin menguntungkan (bagi partai), kalimatnya kan apapun partainya presidennya Anies. Sepanjang partai itu mencalonkan Anies, ya dukungan relawan kepada partai yang mengusung Anies itu,” ujarnya.

Ribuan relawan itu berasal dari berbagai macam latar belakang, dan memiliki pilihan politik beragam. Namun, sejauh ini ada tiga partai politik di Yogyakarta yang terjalin komunikasinya, yaitu NasDem, Demokrat dan PKS.

“Yang jelas, relawan itu orang-orang non-partai. Tetapi juga punya pilihan partai, ketika nanti sudah pemilu. Kalau secara khusus milih apa, belum pernah dibicarakan oleh teman-teman relawan. Pokoknya, prinsipnya relawan itu, apapun partainya, presidennya Anies, begitu,” tambah Kardi.

Untung atau Buntung

Secara politis, NasDem dimungkinkan akan memperoleh manfaat dari pencapresan Anies Baswedan sejak dini. Namun, menurut pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Tunjung Sulaksono, semua itu masih bersifat potensi.

Pengamat politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Dr Tunjung Sulaksono.(Foto: Dok UMY)

Pengamat politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Dr Tunjung Sulaksono.(Foto: Dok UMY)

Dalam teori politik, kondisi ini disebut sebagai coattail effect atau efek ekor jas, yaitu pengaruh yang diperoleh partai politik, melalui pelibatan tokoh yang populer. Dalam kasus ini, akan dihitung seberapa banyak simpatisan Anies yang awalnya non-NasDem, akan mencoblos partai tersebut sebagai dampak pencapresan, kata Tunjung.

“Memang ada keluar masuk di NasDem itu, makanya saya bilang ini potensi, yang itu sebetulnya harus diukur dengan survei. Seberapa banyak kader NasDem yang kecewa dengan keputusan ini, dan seberapa besar orang-orang di luar NasDem yang justru kemudian nanti akan memberikan suaranya ke NasDem untuk 2024,” kata Tunjung kepada VOA.

Pola dukungan terhadap Anies Baswedan di Twitter berdasarkan analisa Drone Emprit. (VOA)

Namun, ini adalah pertaruhan yang wajar dilakukan oleh NasDem. Dampaknya, tentu sudah diperhitungkan oleh partai tersebut sebelum memilih Anies.

“Risiko-risiko ini pasti sudah dihitung. Apa yang akan diperoleh dalam kalkulasi itu, akan lebih besar. Intinya, ini seperti orang jualan, nanti keuntungan yang akan didapatkan, meskipun tidak banyak, tetapi ada, dibanding kerugiannya,” lanjut Tunjung.

Pilihan NasDem juga rasional, karena Anies memiliki kedekatan emosional dan kultural dengan kelompok Islam. Pencapresan ini akan dilihat sebagai peluang untuk memfasilitasi atau mengakomodasi Islam politik di Indonesia. Harus diakui, Anies memiliki pengaruh kuat di Jawa, terutama di Jakarta, Banten dan Jawa Barat, yang disebut sebagai daerah hijau. Sebaliknya, pengaruhnya tidak terlalu besar di kawasan Indonesia timur.

“Kalau kita lihat potensi suara di tiga provinsi itu besar sekali. Sehingga tanpa berusaha mengecilkan daerah lain, tetapi sebetulnya kalau menguasai tiga daerah itu akan berpengaruh signifikan terhadap perolehan suara NasDem,” tambah Tunjung.

Keputusan di awal juga strategis, karena tidak akan dilupakan oleh Anies. Jika menang, NasDem akan memperoleh posisi cukup dominan dalam pemerintahan baru, sebagai partai pertama yang berani memilih Anies sebagai calon presiden. Di sisi lain, pernyataan Surya Paloh terkait pencapresan Anies juga cukup menarik.

“Surya Paloh menyatakan, kalau Anies tidak harus masuk NasDem. Itu sebenarnya menguntungkan NasDem sendiri, karena misalnya Anies bermasalah dalam pemerintahannya, NasDem bisa cuci tangan dengan mengatakan bahwa Anies bukan kadernya,” kata Tunjung lagi.

Analis politik dan CEO Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago.(Foto: Dok Pribadi)

Analis Politik sekaligus CEO & Founder Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago menilai NasDem mengambil keputusan yang sangat berani dan terdepan dalam mengambil momentum politik.

Hasil survei Voxpol Center pada Juli lalu, menggambarkan keterpilihan Anies di kalangan pemilih Nasdem. Di Indonesia timur, seperti Papua, NTT, dan Manado pemilih Nasdem lebih memilih Ganjar dengan 78,8 persen berbanding Anies dengan 36,7 persen.

“Sebaliknya Anies Baswedan, unggul di DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten dengan 81,3 persen,” kata Pangi.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berfoto bersama warga di Jakarta, 1 November 2020. (Foto: AFP)

Terkait coattail effect, Pangi menilai semua partai memiliki kepentingan sama ketika mengusung kandidat capres, yaitu dalam rangka menyelamatkan elektabilitas partai. Kunci kemenangan pemilu legislatif, katanya, sangat ditentukan seberapa besar efek kandidasi capres ikut mendongkrak elektabilitas partai.

Karena itu, NasDem memiliki tantangan setelah pancepresan ini, yaitu sekeras mungkin membangun identitas yang sebangun dengan Anies.

“Semakin tinggi identitas bahwa Anies adalah NasDem dan NasDem identik dengan Anies, maka peluang NasDem untuk mendapatkan insentif efek ekor jas pada pemilu serentak nanti akan semakin besar,” tandas Pangi.

Sebaliknya jika gagal, pencapresan Anies tidak akan memberikan dampak elektoral signifikan bagi NasDem, dan justru berpotensi memantik konflik internal partai.

Dalam posisi saat ini, NasDem harus menyakinkan Partai Demokrat dan PKS, terkait calon wakil presiden. Posisi ini bisa diisi oleh salah satu kader Demokrat atau PKS, begitu pula dengan kesepakatan mengenai jatah menteri bagi setiap partai.

“Dan itu sah-sah saja. Partai ikut kontestasi pemilu, kemudian ketika menang, power sharing mengambil alih kekuasaan lewat kursi menteri,” kata Pangi. [ns/ah]

Sumber: www.voaindonesia.com

Exit mobile version