Indeks

Meski Tak Ada Hubungan Diplomatik, Universitas di Papua Siap Jalin Kerjasama dengan Universitas Israel

Indonesia sampai sekarang menolak mengakui atau membuka hubungan diplomatik dengan Israel, meskipun beberapa negara sudah melakukan hal itu seiring kemunculan Abraham Accord yang digagas oleh Amerika Serikat. Meskipun demikian relasi informal antara warga Indonesia dan Israel terus berlangsung, dalam konteks perdagangan, pariwisata, dan pendidikan.

Seorang pengusaha Indonesia, Agus Suherman, sejak tahun 2014 telah menjalin kerjasama untuk mengirim mahasiswa Indonesia belajar pertanian di Arava International Center for Agricultural Training (AICAT), terletak di Negev, selatan Israel. Belum lagi kunjungan yang dilakukan tokoh dan cendekiawan Indonesia atas undang Israel.

Jejak inilah ingin diikuti Samuel Tabuni selaku pendiri International University of Papua dan Yayasan Maga Edukasi Papua, yakni menjalin kerjasama pendidikan dengan institusi milik Israel.

International University of Papua (IUP) yang berada di Jayapura, Provinsi Papua, telah menjalin kerjasama dengan Universitas Ariel milik pemerintah Israel yang terletak di Tepi Barat. Kolaborasi ini tertuang dalam sebuah nota kesepahaman ditandatangani oleh Samuel Tabuni, pendiri IUP sekaligus Yayasan Maga Edukasi Papua (YMEP) dengan Kepala Urusan Internasional Universitas Ariel Profesor Ronen A. Cohen.

Direktur Media Center YMEP Abdiel Fortunatus Tanias kepada VOA, pada Senin (24/10), menjelaskan gagasan untuk menjalin kerjasama dengan Universitas Ariel itu berasal dari Samuel Tabuni. Dia menambahkan YMEP dan IUP memang berusaha membentuk jaringan dengan berbagai kampus di manapun, terutama di negara maju, untuk menjadi mitra dalam mengembangkan IUP. Ia yakin meskipun Indonesia dan Israel tidak memiliki hubungan diplomatik, kerja sama pendidikan ini akan berjalan baik.

“Kita tidak ada urusannya dengan politik. Pendidikan sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan urusan politik. Misalnya Indonesia juga punya kerja sama pendidikan dengan Taiwan untuk urusan pendidikan, meskipun secara ini tidak ada hubungan diplomatik,” kata Abdiel.

Dia mengatakan penandatanganan nota kesepahaman dengan Universitas Ariel itu baru langkah awal dan memang harus ditindaklanjuti untuk pembahasan teknis yang lebih rinci. Yang pasti, lanjutnya, IUP dalam proses berkembang karena baru berdiri tahun ini sehingga siap membuka kerja sama dengan berbagai institusi.

YMEP – melalui Papua Language Institute (PLI) – sejak tahun 2019 misalnya sudah menjalin kerja sama dengan beragam universitas di Amerika Serikat dan Rusia.

Menurut Abdiel, PLI secara khusus mempersiapkan putra dan putri Papua dalam hal pembentukan karakter, pengembangan kemampuan bahasa asing, dan pengetahuan dasar sebelum melanjutkan pendidikan di luar negeri lewat jalur beasiswa. Model kerjasamanya antara lain setelah kuliah dua tahun di IUP, maka bisa kuliah setahun di luar negeri dan kembali menyelesaikan kuliah di IUP dengan memperoleh dua gelar sarjana.

Seorang mahasiswa tampak menyusun sejumlah perlengkapan laboratorium di Universitas Ariel di Tepi Barat, pada 13 September 2012. (Foto: Reuters/Ronen Zvulun)

Saat ini, lanjutnya, jumlah mahasiswa IUP angkatan pertama sekitar 160 orang. Mereka terbagi di dua fakultas, yaitu Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan serta Fakultas Sains dan Teknologi, yang memang menjadi kebutuhan di Papua sekarang ini.

“Fakultas keguruan,kita lihat selama ini SDM kita di Papua mengalami keterbatasan karena akses pendidikan dan sarana-sarana penunjang, pendidikan yang terbatas, guru juga. Harapannya dengan fakultas ini bisa mempersiapkan SDM yang bisa mempelengkapi kebutuhan pendidikan di tanah Papua kelak. Untuk Sains dan Teknologi bisa memberikan dampak bisa mamajukan Papua. Juga ada beberapa perusahaan besar yang bergerak di industri di Papua yang mungkin bisa menjadi tempat kita menyalurkan lulusan kita,” ungkap Abdiel.

Pengamat Pertanyakan Urgensi Kerjasama Pendidikan dengan Israel

Pengamat Timur Tengah dari Universitas Padjadjaran Dina Sulaeman menilai kerjasama antara IUP dengan Universitas Ariel tersebut merupakan langkah masyarakat sipil yang kurang tepat.

“Jadi mereka jalan sendiri, melakukan upaya-upaya untuk menjalin kerja sama. Padahal di saat yang sama, kebijakan luar negeri pemerintah Indonesia terkait Palestina jelas, yaitu tidak membuka hubungan diplomatik dengan Israel sampai Palestina mencapai kemerdekaannya baik secara de jure maupun de facto,” ujar Dina.

Dina mengatakan kerjasama IUP dengan Universitas Ariel itu justru tidak mendukung upaya pemerintah Indonesia dalam membela perjuangan bangsa Palestina.

Dina meminta pemerintah Indonesia secara tegas menyatakan kepada semua pihak bahwa kebijakan Indonesia tetap berpihak pada Palestina dan menolak hubungan diplomatik. Ketika ada masyarakat sipil yang secara sepihak melakukan upaya pendekatan dan kerja sama, pemerintah tidak boleh diam karena menunjukkan inkonsistensi kebijakan.

Dia mempertanyakan urgensi kerja sama dalam konteks ekonomi, sosial, dan pendidikan dengan Israel, apakah akan menguntungkan orang Indonesia atau hanya menguntungkan segelintir pihak yang mendapat kucuran dana. Karena ketika Indonesia menegaskan untuk tidak mengakui Israel dan menolak hubungan diplomatik apapun, ini menjadi kekuatan terbesar Indonesia. Israel, ujarnya, menyadari betul hal ini.

Menurutnya upaya-upaya yang dilakukan Israel lewat masyarakat sipil dan kucuran dana selama ini adalah untuk menggalang opini publik sehingga banyak yang setuju untuk membuka hubungan diplomatik dengan negara itu. Ketika dukungan itu menguat maka semakin kuat pula pengaruh Israel.

Belum Ada Tanggapan dari Kemlu

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah menyatakan hingga laporan ini diturunkan belum mau menanggapi terkait hal tersebut.

Sebelumnya sejumlah mahasiswa asal Nusa Tenggara Timur (NTT) mendapatkan beasiswa untuk mengikuti pendidikan pertanian di Israel. Tujuan studi ini adalah mempelajari teknologi pertanian Israel yang sukses dengan hasil pertaniannya meski wilayah negaranya merupakan daerah tandus dan jarang hujan. Inisiator kerja sama ini ialah Agus Suherman, salah satu pengusaha.

Pada tahun 2017 Presiden Israel Reuven Rivlin dikabarkan telah menerima tujuh orang Muslim Indonesia, termasuk Profesor Istibsyaroh, ketua Komisi Perempuan, Remaja, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat ketika itu. [fw/em]

Sumber: www.voaindonesia.com

Exit mobile version