Hadapi Aksi Protes Aturan COVID, Beijing Sangkal Masyarakat Frustrasi

Unjuk rasa menentang karantina wilayah atau lockdown COVID-19 di beberapa kota di China, termasuk ibu kota Beijing dan kota terbesar Shanghai, memasuki hari ketiga pada Minggu (27/11).

Para pengunjuk rasa kebijakan COVID di Beijing meneriakkan slogan-slogan yang menentang sistem komunis.

“[Kami] tidak mau tes PCR, kami menginginkan kebebasan.”

“Boikot tes PCR.”

“Kami tidak ingin dibohongi, kami ingin dihormati. Kami tidak ingin revolusi budaya, kami ingin reformasi. Kami tidak ingin sosok pemimpin, kami ingin pemungutan suara. Jangan mau menjadi budak, jadilah warga negara,” kata para pengunjuk rasa saling bersahutan.

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Zhao Lijian membantah adanya rasa frustrasi terhadap protokol COVID di negara itu pada jumpa pers hari Senin (28/11).

“Kami percaya bahwa dengan kepemimpinan Partai Komunis China dan kerja sama serta dukungan seluruh rakyat China, perjuangan kami melawan COVID-19 akan berhasil,” ujarnya.

Sebagian besar orang yang berunjuk rasa sepanjang akhir pekan berfokus pada kemarahan mereka terhadap kebijakan lockdown yang kaku, yang terasa seperti bentuk tahanan rumah virtual, yang bisa berlangsung selama berbulan-bulan dan telah dikritik tidak ilmiah dan tidak efektif.

Banyak polisi diterjunkan di Shanghai untuk berpatroli mengelilingi kota atau berdiri membentuk formasi pada Minggu malam.

Aksi protes menentang kebijakan ketat aturan COVID-19 juga terjadi di kota Shanghai, Minggu pagi (27/11).

Sebelumnya, pada Minggu pagi, para pengunjuk rasa menyerukan Partai Komunis China dan pemimpinnya, Presiden Xi Jinping, untuk “mundur.” Polisi menahan beberapa orang di lokasi unjuk rasa, memasukkan mereka ke dalam kendaraan polisi.

Polisi di Shanghai memukul, menendang dan memborgol seorang wartawan BBC yang meliput unjuk rasa.

Pihak berwenang mengatakan, mereka melakukan penangkapan demi kebaikannya sendiri “kalau-kalau ia tertular COVID dari kerumunan,” kata BBC dalam sebuah pernyataan. “Kami tidak menganggap ini sebagai penjelasan yang kredibel,” ungkap BBC.

Pada jumpa pers yang sama, Zhao menolak pernyataan itu. Ia mengatakan, “wartawan itu tidak mengidentifikasi dirinya sebagai wartawan dan tidak secara sukarela menunjukkan identitas persnya.”

Unjuk Rasa Langka

Unjuk rasa meluas seperti yang terjadi saat ini belum pernah terjadi sejak gerakan pro-demokrasi yang dipimpin mahasiswa tahun 1989, yang berpusat di Lapangan Tiananmen Beijing, yang ditumpas dengan kekuatan mematikan oleh tentara.

Ho-fung Hung, profesor ekonomi politik di Johns Hopkins University di Maryland mengatakan bahwa unjuk rasa menentang kebijakan COVID itu telah menantang otoritas pusat China.

“Ini mengejutkan, dalam arti, ketika dibandingkan dengan unjuk rasa di China pada tahun 1990-an dan 2000-an – dan kita lihat banyak sekali unjuk rasa yang terjadi saat itu – banyak di antaranya yang menahan diri dengan hanya menarget pejabat lokal dan mencoba menunjukkan kesetiaan mereka pada pemerintah pusat. Akan tetapi, kali ini Anda melihat teriakan slogan seperti ‘Mundurlah Xi Jinping’ dan bahkan seruan kebebasan berpendapat,” ulasnya.

Hung mengatakan, sangat tidak mungkin Xi mau mundur. Pihak berwenang China akan lebih memilih untuk menumpas gelombang unjuk rasa itu.

Ia menambahkan, “Untuk saat ini, yang pasti pemerintah [China] akan mengambil tindakan dan langkah-langkah keras. Tidak bisa dibayangkan mereka akan mencoba mengatasi masalah ini dengan cara mundur, mengubah kebijakan. Itu bukan gaya Xi Jinping dan itu tidak akan menguntungkan mereka.”

Gelombang unjuk rasa terjadi menyusul kebakaran gedung apartemen tingkat tinggi di kota Urumqi, ibu kota Daerah Otonomi Khusus Uyghur Xinjiang, hari Kamis (24/11), yang menewaskan 10 orang, di tengah kekhawatiran bahwa kebijakan lockdown mungkin telah mencegah petugas pemadam kebakaran memasuki gedung dengan cepat dan menghambat evakuasi penghuni apartemen.

Urumqi telah menjalani lockdown sejak bulan Agustus. Namun, kota itu melaporkan sekitar 100 kasus COVID baru setiap harinya.

Per hari Senin (28/11), China mencatatkan lebih dari 40.000 kasus COVID-19 baru di seluruh negeri.

AS Dukung Unjuk Rasa Damai di China

Sementara itu, Amerika Serikat mendukung hak rakyat China untuk berunjuk rasa secara damai di negara itu.

“Kami sudah sejak lama mengatakan bahwa setiap orang berhak unjuk rasa secara damai, di sini di Amerika Serikat dan seluruh dunia. Ini termasuk di RRT (Republik Rakyat China),” kata juru bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih dalam sebuah pernyataan.

“Kami pikir akan sangat sulit bagi Republik Rakyat China untuk dapat meredam virus ini melalui strategi nol-COVID,” kata juru bicara itu, menambahkan bahwa Amerika Serikat fokus pada “apa yang berhasil” dalam melawan virus itu, termasuk dengan meningkatkan vaksinasi.

Beijing dan Washington telah menangani penyebaran pandemi virus corona dengan cara yang sangat berbeda.

Kebijakan nol-COVID Beijing telah membuat jumlah kematian di China dapat ditahan di angka ribuan, sementara di AS mencapai lebih dari satu juta kematian. Akan tetapi, kebijakan itu harus dibayar dengan cara mengurung jutaan orang di dalam rumah untuk waktu yang lama. Hal itu telah menyebabkan gangguan yang luas dan kerusakan terhadap perekonomian China.

Reaksi terhadap kebijakan pembatasan COVID di China merupakan kemunduran dalam upaya negara itu untuk memberantas virus corona, yang menginfeksi masyarakat dalam jumlah yang memecahkan rekor, setelah selama ini sebagian besar penduduk mengorbankan pendapatan, mobilitas dan kesehatan mental mereka demi mencegah penyebaran virus.

Selama masa jabatannya, Xi mengawasi penumpasan oposisi dan perluasan sistem pengawasan sosial berteknologi tinggi, yang membuat aksi unjuk rasa menjadi lebih sulit dan lebih berisiko. [rd/ka]

Sumber: www.voaindonesia.com