Keprihatinan Amerika terhadap situasi di Myanmar pasca kudeta militer 1 Februari 2021 dan kegagalan pemerintah junta militer menerapkan lima poin konsensus yang disepakati para pemimpin ASEAN pada April 2021, ditunjukkan Menteri Luar Negeri Antony Blinken dalam pernyataannya di beberapa forum pertemuan di Jakarta.
Berbicara dalam pertemuan tiga pihak dengan para menteri luar negeri ASEAN dan Sekretariat ASEAN, Jumat pagi (14/7), Blinken mendorong ASEAN “untuk mendesak rezim militer Myanmar untuk menghentikan kekerasan, untuk mengimplementasikan lima poin konsensus dan mendukung kembalinya pemerintahan yang demokratis,” ujarnya.
Pernyataan yang sama diulanginya lagi dalam konferensi pers Jumat malam.
“Mengingat rezim militer di Myanmar terus melakukan kekejaman dan merusak stabilitas regional, ada dukungan luas dalam pertemuan hari ini untuk terus menekan rezim itu agar mengakhiri kekerasan dan memenuhi komitmennya sesuai konsensus lima poin,” tandas Blinken.
Lima poin konsensus yang dimaksud adalah pengiriman bantuan kemanusiaan, penghentian aksi kekerasan, pelaksanaan dialog inklusif, pembentukan utusan khusus, dan kunjungan utusan khusus ke Myanmar.
Diwawancarai VOA melalui telepon tak lama setelah konferensi pers Blinken itu, peneliti ASEAN di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Pandu Prayoga melihat pernyataan itu sebagai sinyalemen positif dari Amerika. Hal ini dapat dibaca sebagai dukungan penuh pada ASEAN untuk membantu menyelesaikan krisis di Myanmar, namun tetap dalam koridor lima poin konsensus. Pernyataan itu sekaligus menunjukkan dukungan pada kepemimpinan Indonesia di ASEAN.
Menindaklanjuti dukungan itu, tambah Pandu, Indonesia selaku ketua ASEAN tahun ini dapat meminta masukan lebih rinci hal-hal yang dapat dilakukan dalam koridor lima poin konsensus itu. Amerika tidak perlu menjatuhkan sanksi terhadap Myanmar, yang dapat menjadi bumerang dan berdampak luas.
“Dengan kita lari dari masalah, mengisolir, kemudian memberi sanksi, justru itu malah membuat angin segar bagi Myanmar untuk berpaling kepada China dan juga Rusia,” ujar Pandu.
Kalaupun Amerika ingin menerapkan sanksi, lanjut Pandu, harus langsung menarget junta militer Myanmar. Amerika dapat saja mendesak seluruh negara, termasuk sekutunya, untuk tidak menjual persenjataan pada Myanmar yang digunakan junta militer untuk menekan warga sipil.
Amerika pada hari Kamis (13/7) menyetujui pengiriman bantuan kemanusiaan senilai US$74 juta dolar ke kawasan ini, termasuk US$61 juta dolar untuk pengungsi Muslim-Rohingya yang terdampak kekerasan berkelanjutan di Myanmar. [fw/em]
Sumber: www.voaindonesia.com